Oleh : La Ode Ali
Ahmadi
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBa5EHWtPnG9rs8zaqXTp3tHuvbShAa-x9tF-1uE6JBCoW8OkswItRdP6srYMx5I5i9ej5j-VBUzfHiKmXcY3WkGNq0FWbMnxyeE-z7_IsXr2Pk2hTsrXVp0F6n7ILsEObSUuULVt2EGM/s400/malige-2.png)
Malige (Rumah Sultan).
Di Liya Namanya Kamali (Rumah Mo,ori)
Potensi Situs dan Benda
Cagar Budaya (BCB) di wilayah Buton sebagai karya nyata peradaban manusia
pendukungnya di masa lalu sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak
mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat,
baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dan lainnya,
hingga pada kebutuhan bathin seseorang dalam rangka menjalani proses
kehidupannya. Mereka yang berkunjung ke Negeri Butun (berita di berbagai
ekspedisi purba dan kitab Negara Kertagama; Butun = jenis pohon pantai =
Baringtonia Asiatica), ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama
Islam Tarekat di Buton yang terkenal itu. Dan sebaliknya banyak pula orang,
kelompok, bangsa dalam sindrom tertentu, sengaja ingin menghancurkan dan
memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya.
Daerah seribu pulau,
seribu benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton, secara
geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ - 125⁰ Bujur Timur, merupakan
kawasan timur jazirah tenggara Celebes Island = Pulau Sulawesi Indonesia.
Menurut referensi serta
pengakuan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan
wilayah otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan.
Karakter budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta
mampu bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras,
dan cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di
masa lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi
terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika
dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton
melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan
kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam berbagai
bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan
dan keamanan masyarakatnya masa itu.
Penamaan Buton telah
diperjelas dari beberapa informasi diantaranya:
Nama Buton telah
dikenal di Jawa tepatnya pada masa Gajah Mada menjadi Patih Kerajaan Majapahit.
Berita ini diketahui dari Kitab Nagarakertagama (1365), pupuh 14 karangan
prapanca. Dalam kitab ini berbunyi, “muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le
Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa nusa Makasar
Butun (Buton) Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya (Selayar) Sumba […..]”
(Pigeaud, 1962).
Berita dari Tome Pires
yang menceritakan pelayarannya di perairan nusantara pada tahun 1512-1515
Masehi. Ia berangkat dari Tumasik (Singapura) ke Maluku melalui Borneo
(Kalimantan), Makassar dan Buton. Informasi ini menunjukan bahwa Buton ketika
itu telah dikenal oleh pelaut yang melintasi perairan nusantara termasuk orang
asing.
Lembar Naskah Kuna,
diantaranya berita tentang, seorang Belanda bernama Apollonius Schot diutus
oleh VOC untuk mengadakan perjanjian kerjasama dengan Sultan Buton pada bulan
Desember 1612. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 5 Januari 1613. Kedua belah
pihak menyetujui suatu perjanjian yang berisi antara lain; kebebasan Buton
melaksanakan agama dan sistim pemerintahannya (Yunus, 1995:11-14).
Penulisan nama Buton
yang dijumpai pada sketsa peta yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Pieter Both
tahun 1613, menyebut Straat Van Boeton untuk selat Buton (Nusriat, 1988:70)
Sebenarnya nama Buton
hanya lazim digunakan oleh orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk
setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Pernyataan ini didukung pula oleh
A. Ligtvoet yang bertugas di negeri ini. Ia menulis buku yang berjudul,
“Bescrijving en Geschiedenis Van Boeton Sigra Venhoge” (1877), yang menyebutkan
bahwa; “He rijk Boeton, dat in de Landstaal Bolio (Wolio), in het Malaeisch
Boeton, en in het Makassarch en Boeginesch Boetoeng heet” (Abubakar, 1999:25)
Ibarat prasasti dan
goresan profil pada candi-candi di Jawa, yang mengkisahkan berbagai hal dan
peristiwa, seperti halnya kisah babad tanah jawi, Buton pun memiliki kisah yang
tak kalah menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan
peradaban Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran
lambang/simbol maupun rangkaian ragam hias di berbagai pelosok
kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan
Buton. Wilayah 72 (tujuhpuluh dua) kadie terletak dan tersebar di seluruh
kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie menjadi referensi dan oleh parah ahli
humaniora khususnya arkeolog; wilayah kadie dikategorikan sebagai situs
pemukiman sekaligus sebagai bukti konkrit bahwa Buton masa lalu memang Raya dan
Jaya. Pada kesempatan di kolom ilmiah ini, penulisan hanya dibatasi pada
kekayaan dan keragaman dari makna simbolis pada Istana Malige di Buton.
Dalam kamus besar
Wikipedia, menyebutkan bahwa Istana Sultan Buton disebut Kamali atau Malige.
Bangunannya didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun
paku, dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi
landasan dasarnya. Rumah adat Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan
seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat
lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai
keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau
sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh
bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau
paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 (lima) buah yang berjajar ke
belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 (empatpuluh)
buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut
Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan
semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat.
Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang
sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang
mempunyai tiang samping 4 (empat) buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3
(tiga) petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 (enam)
buah akan mempunyai 5 (lima) petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki
oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah
adat yang mempunyai tiang samping 8 (delapan) buah berarti rumah tersebut
mempunyai 7 (tujuh) ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Keterangan yang lebih
umum dan luas lagi menjelaskan bahwa Kamali/Istana Malige (Kamali = Istana =
rumah raja/sultan/pejabat kesultanan; Malige = Mahligai) sebagai istana Sultan
di analogikan dengan tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan perwujudan Sultan
sebagai pusat dari segala kekuatan. Kepercayaan yang menyangkut kekuatan yang
berpusat pada raja berakar dari konsep dewa yang dikenal sejak jaman pra-Islam
(Moertono, 1985, dalam Musadad dkk, 1998:21). Hal senada diungkapkan pula oleh
Soejono yang mengatakan bahwa Sultan dianggap sebagai seorang tokoh yang
menguasai masyarakat dan dapat menghubungkannya dengan dunia ghaib (Soejono,
1993:217).
Istana Malige merupakan
salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton, dapatlah dikatakan
sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini
Kamali/Istana Malige merupakan cagar budaya yang keberadaannya dapat mengungkap
berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim
sosial, teknologi tradisional (profan) maupun kepercayaan (religi) yang masih
bertahan hingga sekarang. Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat
cantik di berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah
satu peninggalan arsitektur tradisional Buton yang kaya akan makna simbolis
baik konstruktif maupun dekoratif dapat disaksikan di Istana Malige.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi
oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang
menganggap bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan Buton
adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam
bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruktif maupun
dekoratif. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan
keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai
pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal
ini senada dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah
pada sabda Nabi Muhammad, SAW, termuat dalam tafsir Kanzil-Umal (Andjo,
199:53). Hadist tersebut mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan
sebagai amiril mu’minin. Pemahaman dasar simbol kosmologis dari Istana Malige,
Kamali dan atau rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab
berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada (rumah
ber-penyangga). Di katakan Istana/Kamali jika bangunan tersebut di huni oleh
pejabat kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi
bangunan, berfungsi konstruksi semacam mata kipas, yang disebut kambero,
lengkaplah di sebut kamali karena di sebut banua tada kambero, inilah yang
membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan satu mata
penyangga/banua tada.
Satu hal yang menarik
tentang pemaknaan sama pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat
biasa adalah peninggian lantai/ruangan dalam rumah yang berbeda-beda.
Peninggian lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah
menjadi aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan
semakin kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan ke
buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya
tergantung luas dan besar bangunan.
Sumintardja (1978),
dalam hal ini beranggapan bahwa, secara simbolis ruangan yang terpenting diberi
lantai yang lebih tinggi daripada ruangan-ruangan lainnya. Penerapan tata ruang
seperti ini terlihat pula pada rumah tradisional di Aceh, Minangkabau,
Palembang dan lainnya di daerah yang mayoritas beragama Islam.
Untuk Istana Malige
pembagian tata ruangan tersebut mengandung unsur pemaknaan sebagai berikut:
Disebut Sasambiri
disimbolkan sebagai penggambaran pribadi Sultan yang selalu terbuka kepada
rakyatnya. Hal ini terlihat pada penempatan pintu utama dan pintu belakang yang
fungsi umumnya untuk keluar-masuknya orang kedalam istana.
Disebut Bamba dan Tanga
disimbolkan sebagai rongga perut, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya tamu
dan menampung segala pesoalan yang ditujukan kepada Sultan maupun keluarganya.
Bamba biasanya digunakan untuk tamu yang bukan kerabat dekat Sultan sedangkan
tanga digunakan untuk kerabat dekat Sultan.
Disebut Suo disimbolkan
sebagai rongga dada dan kepala. Hal ini dihubungkan dengan penempatan kamar
utama yang berfungsi sebagai tempat peraduan Sultan. Selain itu Suo berhubungan
dengan tradisi masyarakat setempat yang disebut po’suo. Tradisi ini berbentuk
acara ritual yang ditujukan kepada gadis-gadis untuk dipingit karena dianggap
sudah dewasa (aqil baligh) dan pantas untuk berkeluarga.
Penghuni istana
disimbolkan sebagai nyawa atau ruh pada manusia. Hubungan antara tubuh atau
jasad dengan ruh manusia mengandung pemahaman saling menjaga dan saling merawat
dan memelihara.
Pembagian ruangan yang
telah disebutkan dibatasi oleh tetengkala (papan pisah). Hasil wawancara dengan
tokoh masyarakat Buton (Alm. La Ode Saidi-adalah Anak kandung Sultan Buton 37,
pewaris Istana Malige), bahwa Tetengkala berfungsi sebagai pembatas dan tanda
kejelasan fungsi ruangan dalam istana Malige. Fungsi pemisahan dimaksud
dimisalkan tentang tamu laki-laki ditempatkan diruangan bamba sedangkan tamu
wanita diruangan tanga.
Untuk fungsi dapur dan
kakus (wc), harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih
rendah dari lantai bangunan utama. Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk
dapur dan kakus tersebut di bangun terpisah dan hanya di hubungkan oleh satu
tangga. Bangunan dapur dan kakus secara simbolis dimaknai sebagai dunia luar
yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan.
Tampak bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni;
alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong.
Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu
sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana
keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang
menumpu pada pondasi batu alam (Maryono, dkk, 1985:61). Pondasi batu alam ini
dalam bahasa Buton di sebut Sandi.
Sandi tersebut tidak di
tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat dan berfungsi meletakkan
tiang bangunan. Antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau dua
papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi.
Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan
batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia
dan alam akherat), adalah konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau
dari fungsinya lebih bersifat profan.
Makna simbolis pada
konstruksi lain Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:
Atap yang disusun
sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam shalat, tangan
kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap terdapat kotak
memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut menunjukkan adanya
tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
Balok penghubung yang
harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang beriman, sebagai
analogi bagi penghuni istana,
Tiang Istana di bagi
menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai/Tutumbu (tiang tengah = tumbuh
terus), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya diwujudkan
dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung
bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat (ritual)
karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah Tiang Utama sebagai tempat
meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau
kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang
pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya.
Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena,
yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan
penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
Tangga dan Pintu
mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan posisi pintu
depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat bermakna
posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan
Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus di hormati, dan secara simbolis mengingatkan
pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda
dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai
penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
Lantai yang terbuat
dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah bangsawan dan
melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi persoalan.
Dinding sebagai penutup
atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian ibarat alam kehidupan
dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya untuk mengokohkan dan
prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
Jendela (bhalo-bhalo
bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian atasnya
terdapat bentuk hiasan balok melintang member kesan adanya pengaruh Islam yang
mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai kubah. dll
Makna simbolis pada
Dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan
fauna, diantaranya adalah:
Nenas merupakan simbol
kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol ini menyiratkan
bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang walaupun penuh
duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
Bosu-bosu adalah buah
dari pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan simbol keselamatan, keteguhan
dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang
lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada
perlambangan kesucian mengingat sifat air yang bening dan suci. Upacara ritual
tertentu bagi masyarakat Buton tidak dianggap sah apabila tidak diadakan
sejenis makanan tradisional yang disebut katupa butu, yang berarti ketupat
butun, yakni ketupat sebesar buah butun (Yunus, 1995:11)
Ake merupakan hiasan
pinggir atap yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana Malige, Ake
dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan
(manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada ajaran
tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud (Saptono, 1996:18)
Kamba/kembang yang
berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang mirip
pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah
(surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala pada
masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra Islam di
Buton, mengingatkan hubungan persaudaraan dan persahabatan Kerajaan Buton dan
Kerajaan Majapahit masa lalu berdasarkan penyebutan dan keberadaan Kerajaan
Butun/Buton di beberapa pupuh/pasal dalam kitab Negara Kertagama. Adapun
kedudukan simbol matahari yang biasa digambarkan, sekarang hanya berupa volute
(Subarna, 1987:100). Simbol kamba ini terdapat pula pada beberapa Nisan Kuna
bangsawan Buton masa lalu.
Terdapatnya Naga pada
bumbungan atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Pada masa Hindu-Budha
hiasan Naga dihubungkan dengan ceriteraSamodramanthana. Cerita ini berisi
tentang usaha para dewa mengacau laut untuk mendapatkan air amerta (Soekmono
dalam Saptono, 1996:19). Naga adalah Binatang Mitos yang berada di Langit,.
Naga juga merupakan lambang alam bawah (bumi) sebagai kesuburan, juga merupakan
lambang alam kematianyang menjamin dan dijadikan kendaraan dari dunia ke alam
baka. Motif naga menjadi hiasan yang terdapat diseluruh Asia hingga Australia
(Bintarti, 1987:292). Keberadaan Naga di khasanah simbolisasi Buton,
mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan
Cina.-Mongol.
Terdapatnya Tempayan
berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan
kamali, mesjid, tempat atau makam suci, maupun rumah rakyat biasa. dll
Kamali/Istana Malige
dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai
wujud keseimbangan alam dan manusia kepada tuhannya (Allah SWT). Disisi lain
keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat
pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk
struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan
yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam
hiasnya secara detail.
Secara umum dapat
digambarkan bahwa susunan ruangan dalam istana Malige adalah sebagai berikut:
Lantai pertama terdiri
dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebagai tempat
menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga
dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan
sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebagai
kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebagai kamar makan
Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari
kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan Sultan yang sudah dewasa,
kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
Lantai kedua dibagi
menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi
sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7
tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga.
Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan
sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar
tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
Lantai ketiga berfungsi
sebagai tempat rekreasi.
Lantai keempat
berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan Malige terdapat
sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur,
yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini
dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam
hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran
buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi
depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni
ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah
nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan
bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota,
berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan
Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari
bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa
kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada
anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan
Malige Buton mirip rongga manusia.
Sangat disayangkan jika
keberadaan bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung di abaikan,
contoh kasus adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen)
di lokasi Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini
yang jelas menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari
replika rumah adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta,
menyalahi citra/image, karena bangunan tersebut telah di padukan dengan rumah
etnis lain selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar
Identitas dan keragaman khasanah rumah adat tradisional Sulawesi Tenggara
khususnya dan Indonesia umumnya itu semakin jelas bukan malah samar-samar.
Kasus lain yang lebih aneh adalah peng-karakter-an simbol Naga di Pantai Kamali
Kota Bau-Bau, yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan
simbol binatang bumi.
Mari kita semua membuka
jendela hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya
lokal, terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias,
sebagai karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk
anak cucunya di dunia. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa
“sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah
lambang (simbol)” (by Leslie White). Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah
simbol.****
Daftar Pustaka:
Abubakar, Laode, 1999,
“Pemahaman Tentang Sejarah Yang Bernama Wolio-Butuni”, Majalah Budaya Buton
Edisi I, II, dan III Kendari:Yayasan Wolio Malagi. Ambary, Hasan. M,
1987,
“Pengamatan beberapa
Konsepsi Estetis dan Simbolis Pada Bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam di
Indonesia”, Diskusi Ilmiah Arkeologi II (Estetika dalam Arkeologi Indonesia),
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Andjo, Nur Ikhsanuddin,
1999, “Rumah Adat Buton”, Majalah Budaya Buton Edisi II dan III, Kendari:
Yayasan Wolio Malagi.
Bintarti, D.D, 1987,
“Seni Hias Prasejarah : Suatu Studi Etnografi, Diskusi Ilmiah Arkeologi II
(Estetika dalam Arkeologi Indonesia), Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Musadad, dkk, 1998,
“Struktur dan Organisasi Ruang Kota Kartasura Masa Mataram Islam”, Berita
Penelitian Arkeologi, Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta.
Nusriat, 1988, “Mesjid
Keraton Buton”, Skripsi, Ujung Pandang : Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin.
Saptono, M. Nanang,
1996, “Sekilas Mengenai Arsitektur Tradisional Masa Islam di Kotamadya
Pontianak”, Prospek Arkeologi, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.
Soejono, RP, (ed),
1982, “Penelitian dan Perlindungan sebagai Dua Aspek Pokok dalam Kegiatan
Arkeologi”, Analisis Kebudayaan II No. 1, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Sumintardja, Djauhari,
1978, “Kompendium Sejarah Arsitektur” Jilid I, Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan
Masalah Bangunan.
Yunus, Abd Rahim, 1995,
“Posisi Tasawuf dalam Sistim Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19”,
Jakarta: Indonesia-Netherland Cooperation in Islamic Studies (INIS).